Sabtu, 08 Juni 2019

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

Ekosistem mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir terutama pulau-pulau kecil. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dan perubahan lingkungan utama dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota baru. Selain itu, ekosistem ini juga berfungsi dalam mengolah limbah melalui penyerapan kelebihan nitrat dan phospat sehingga dapat mencegah pencemaran dan kontaminasi di perairan sekitarnya.
Mangrove atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1988). Mangrove adalah salah satu di antara sedikitnya tumbuh-tumbuhan tanah timbul yang tahan terhadap salinitas laut terbuka (Odum, 1993). Walaupun tidak sama dengan istilah mangrove banyak orang atau penduduk awam menyebut mangrove
Cakupan sumberdaya mangrove secara keseluruhan menurut Kusmana (2005) terdiri atas:
1.    satu atau lebih spesies tumbuhan yang hidupnya terbatas di habitat mangrove,
2.    spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove
3.    biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-kali, biasa ditemukan kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove,
4.    proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada di daerah bervegetasi maupun diluarnya, dan
5.    daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut.
Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda baik aspek ekologi maupun sosial ekonomi. Besarnya peranan ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem mangrove tersebut.
Bengen (2000) menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki fungsi antara lain :
1.    sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angin,
2.    sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak dan daerah asuhan berbagai jenis biota
3.    sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif (detritus),
4.    sebagai sumber bahan baku industri bahan bakar,
5.    pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya,
6.    tempat pariwisata.
Secara fisik ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung yang mempengaruhi pengaliran massa air di dalam tanah. Sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus air dan ombak, sehingga menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Keadaan ekosistem rnangrove yang relatif lebih tenang dan terlindung dan sangat subur juga aman bagi biota laut pada umumnya.
Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem mangrove. Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikro organisme diuraikan menjadi partikel-partikel detritus. Detritus kemudian menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan detritus seperti: cacing, mysidaceae (udang-udang kecil/ rebon). Selanjutnya hewan pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang dan hewan lainnya. Pada tingkat berikutnya hewanhewan tersebut menjadi makanan bagi hewan-hewan lainnya yang lebih besar dan begitu seterusnya untuk menghasilkan ikan, udang dan berbagai jenis bahan makanan lainnya yang berguna bagi kepentingan manusia.
Salah satu kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan urbanisasi karena mereka membuang limbah di sekitar perairan ekosistem hutan mangrove yang tidak jauh dari kota, oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan dalam membuang limbah yang tidak merusak ekosistem mangrove (Lazardi, et al., 2000).
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem mangrove secara ideal seharusnya mempertimbangkan kebutuhan masyarakat narnun tidak menganggu keberadaan dari sumberdaya tersebut. Dalam upaya ini Departemen Kehutanan telah memperkenalkan suatu pola pemanfaatan yang disebut "silvofishery" dengan bentuk tumpangsari. Pola ini adalah kombinasi antara tambak/empang dengan tanaman mangrove. Pola ini dianggap paling cocok untuk pemanfaatan ekosistem mangrove saat ini. Dengan pola ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan sedangkan ekosistem mangrove masih tetap terjamin kelestariannya (Departemen Kehutanan, 1993)
Dasar pemikiran penetapan kebijakan pengelolaan mangrove adalah ekosistem mangrove yang berfungsi sebagai sumber plasma nutfah, tempat pemijahan, pengasuhan dan tempat larva biota perairan serta sekaligus juga berfungsi untuk melindungi kawasan pesisir dari kerusakan dan pencemaran, telah mengalami tekanan yang luar biasa sehingga mengalami degradasi yang sistematis; bahwa diperlukan langkah lanjut dan upaya pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan untuk menjamin kelestarian ekosistem mangrove guna mendukung pelestarian lingkungan pesisir, kegiatan perikanan yang berkelanjutan, perlindungan pantai, wisata bahari, dan keperluan ekonomi lainnya.
A.   Peraturan Mengenai Pengelolaan Hutan Mangrove
Ada banyak peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan pantai, diantaranya adalah :
1.    UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
2.    UU No.5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria
3.    UU No.5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan
4.    UU No.11 Tahun 1974 Tentang Perairan
5.    UU No.9 Tahun 1985 Tentang Perikanan
6.    UU No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
7.    UU No.9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan
8.    UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
9.    UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
10.  UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
11.  UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
12.  U No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
13.  UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
14.  UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pesisir dan kelautan
B.   Penegakan Hukum
Salah satu hal yang sangat penting dalam pengelolaan pantai adalah penegakkan hokum (law enforcement). Peraturan-perundangan telah banyak diterbitkan. Tujuannya agar pengelolaan pantai dapat dilakukan secara terpadu. Namun pada implementasi, sering peraturan dilanggar. Pelanggaran tidak diikuti dengan sanksi maupun hukuman yang tegas, walaupun sudah dinyatakan eksplisit dalam aturan. Pengawasan oleh pihak berwenang (lebih dominan dari Pemerintah) tidak dilakukan.
Penegakan hukum perlu terus dilakukan dengan berbagai cara dan upaya. Cara–cara dan upaya antara lain dapat berupa:
1.    Sosialisasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan pantai kepada semua stakeholders.
2.    Substansi tentang aturan dan sanksinya perlu disosialisasikan lebih detail. Misalnya dengan cara pemasangan papan aturan dan sanksi di tempat-tempat strategis.
3.    Perlu shock therapy yaitu dengan misalnya menerapkan sanksi, denda, atau hukuman maksimal dari aturan yang ada. Hal ini dimaksudkan agar stakeholders menjadi jera dan mau mentaati aturan yang berlaku.
4.    Perlu lembaga pengawasan yang melekat pada instansi. Lembaga ini berfungsi mengawasi pengelolaan pantai baik internal maupun eksternal.
5.    Karena isu-isu yang kompleks tersebut maka diperlukan kolaborasi yang baik antara institusi penentu kuantitas dan kualitas air dengan institusi penegakan hukum.
6.    Implementasi penegakan hukum dilakukan dengan cara bertahap
Dalam rangka pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut agar benar-benar terlaksana sebagai wujud law enforcement, bisa dilakukan modifikasi disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah, misalnya :
1.    Identifikasi hukum adat serta revitalisasi lembaga adat (Nagari) dan lokal yang berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.
2.    Peningkatan kesadaran, kemampuan, dan kepedulian masyarakat pesisir terhadap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan produk hukum pengelolaan pesisir.
3.    Peningkatan pengawasan, pengamanan dan penegakan hukum di pesisir
C.   Finansial
Dalam konsep dasar penilaian ekonomi (economic valuation) sumberdaya alam, nilai sumberdaya mangrove ditentukan oleh fungsi dari sumberdaya itu sendiri. Menurut Bann (1998), fungsi ekologi sumberdaya mangrove antara lain sebagai : stabilitas garis pantai, menahan habitat keanekaragaman, sedimen, perlindungan dan produktifitas biomassa, sumber plasma nutfah, rekreasi atau wisata, memancing dan produk-produk hutan. Nilai ekonomi atau total nilai ekonomi hutan mangrove secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua yaitu nilai penggunaan (use value) dan nilai intrinsik (non-use value) selanjutnya dapat diuraikan bahwa nilai penggunaan (use value) dapat dibagi lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct use), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use) dan nilai pilihan (option value).
1.    Pengembalian Biaya dan Kebijakan Denda
Teknik penilaian manfaat, didasarkan pada kesediaan konsumen membayar perbaikan atau kesediaan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar. Manfaat dari suatu barang atau jasa mempunyai nilai yang sama dengan kesediaan penduduk untuk membayarnya (willingness to pay (WTP)). Untuk menilai lingkungan harus dilihat fungsi kerusakan marginal yang menunjukan perubahan lingkungan. Pemikiran harus dalam kerangka yang luas karena diadakan perubahan lingkungan hutan mangrove akan banyak dampaknya terhadap masyarakat sekitar, baik dampak fisik, dampak degradasi lingkungan, kualitas estetika.
Apabila ingin dilihat WTP (willingness to pay) dari masyarakat maka akan dapat digambarkannya dalam kurva permintaan (demand) gabungan antara beberapa permintaan merupakan total WTP.
2.    Penilaian Investasi
Pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan seperti untuk pembuatan bahan pengawet jaring dan untuk keperluan lainnya oleh nelayan secara berlebihan dan tidak teratur serta pengambilan oleh masyarakat tertentu untuk dijual yang dilakukan secara berlebihan, telah berdampak pada kondisi hutan mangrove yang semakin menurun kualitasnya dan mengecil arealnya (rusak) yang berdampak menurunnya kualitas sumberdaya pesisir secara umum termasuk habitatnya.
D.   Peran Institusi dan Pelaku dalam Pengelolaan Mangrove
Otonomi pengelolaan Kawasan Pantai dan sumber daya alam yang membawa konsekuensi penyerahan seluruh tanggung jawab kepada Pemerintah Kabupaten/Kota termasuk pendanaan, personalia, kelembagaan, peraturan daerah dan prioritas kegiatan sesuai dengan kondisi lokal akan menjadi basis dalam pengelolaan Kawasan Pantai dan sumber daya alam.
Penerapan Prinsip Keterpaduan Dalam Pengelolaan :
a.    Keterpaduan antar sektor;
b.    Keterpaduan antar level pemerintahan;
c.    Keterpaduan ekosistem darat dan laut;
d.    Keterpaduan sains dan manajemen;
e.    Keterpaduan antar daerah/ negara.
1.    Peran Pemerintah Pusat
Kewenangan Pemerintah mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Dalam hal ini Kewenangan bidang lain yang dimaksud, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional, dan pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 25 Tahun 2000 Bab II, Pasal 2 point 13 Bidang Penataan Ruang diketahui :
a.    Penetapan tata ruang nasional berdasarkan tata ruang Kabupaten/Kota dan Propinsi.
b.    Penetapan kriteria penataan perwilayahan ekosistem daerah tangkapan air pada daerah aliran sungai.
c.    Pengaturan tata ruang perairan di luar 12 (dua belas) mil.
d.    Fasilitasi kerjasama penataan ruang lintas Propinsi.
Kewenangan menteri dalam pengelolaan wilayah pesisir menurut UU No.27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
a.    Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir lintas provinsi dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu
b.    HP-3 di Kawasan Strategis Nasional Tertentu
c.    Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan nasional
d.    Ijin pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang menimbulkan dampak besar terhadap perubahan lingkungan
e.    Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan nasional
f.     Melakukan pendampingan terhadap Pemerintah Daerah dalam merumuskan dan melaksanakan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
g.    Membentuk unit pelaksana teknis pengelola Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan kebutuhan
h.    Mengkoordinasi pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tingkat nasional
i.      Jenis kegiatan yang dikoordinasikan sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
j.      Penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap sektor sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu;
k.    Perencanaan sektor, daerah, dan dunia usaha yang bersifat lintas provinsi dan kawasan tertentu;
l.      Program akreditasi nasional;
m.   Rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan tiap-tiap instansi Pemerintah; serta
n.    Penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang bersifat lintas provinsi dan Kawasan tertentu yang bertujuan strategis.
2.    Peran Pemerintah Propinsi
Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom sesuai dalam Pasal 9 Ayat 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Kewenangan bidang tertentu adalah perencanaan dan pengendalian pembangunan secara makro, pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/ pariwisata, penanganan penyakit menular dan hama tanaman dan perencanaan tata ruang Propinsi.
Kriteria kewenangan daerah Propinsi berdasarkan skala pelayanan, penyerasian, kepentingan letak geografis dan potensi pemanfaatan sumber daya air sebagai berikut :
a)            Skala Pelayanan Lintas Kabupaten/ Kota
Bila suatu tugas menyangkut penyediaan pelayanan umum, pengaturan dan pembangunan yang bersifat lintas Kabupaten, maka kewenangan-kewenangan untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang berkaitan dengan tugas tersebut dipertimbangkan untuk diletakkan pada daerah Propinsi sejauh mana tidak dapat diselenggarakan dengan cara kerjasama antar Kabupaten/ Kota.
b)            Penyerasian Kepentingan Antar Kabupaten/ Kota
Bilamana suatu tugas yang dilakukan oleh satu Kabupaten/ Kota tertentu dapat merugikan Kabupaten/ Kota lainnya, maka kewenangan untuk melaksanakan tugas tersebut diletakkan pada propinsi. Dalam merumuskan kewenangan pemerintah di samping berdasarkan kriteria sebagaimana telah dikemukan diatas juga dilakukan dengan pendekatan fungsi umum manajemen pemerintahan yang lazim telah digunakan diberbagai negara yang meliputi fungsi-fungsi kebijakan, perencanaan/ alokasi, pendanaan, penerimaan, perijinan, pengelolaan, pemerintahan, pemantauan/ pengawasan, dan kerjasama/ koordinasi
c)            Letak Geografis
Bilamana secara fisik suatu sistem berada dalam lebih dari 2 Kabupaten/ Kota, maka kewenangan untuk melaksanakan pengelolaan aset tersebut diletakkan pada Daerah Propinsi.
d)            Potensi pemanfaatan
Bilamana sumber daya air berpotensi dapat dimanfaatkan lebih dari 2 kabupaten/ kota, maka kewenangan untuk melaksanakan fungsi tersebut dapat diletakkan pada daerah propinsi.
Kewenangan gubernur dalam pengelolaan wilayah pesisir menurut UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
a.    Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan Perairan Pesisir lintas kabupaten/kota.
b.    Mengkoordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tingkat provinsi
c.    Mengatur penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap Dinas otonom atau badan sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu Provinsi;
d.    Mengatur perencanaan tiap-tiap instansi daerah, antar Kabupaten/kota, dan dunia usaha;
e.    Mengatur program akreditasi skala provinsi;
f.     Mengatur rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan instansi vertikal di daerah, dinas otonom, atau badan daerah;
g.    Mengatur penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di provinsi
3.    Peran Pemerintah Kabupaten/ Kota
Berdasarkan ketentuan pasal 11 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang mencakup kewenangan pemerintah bidang layanan umum merupakan kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota Kewenangan yang wajib dilaksanakan berupa pengadaan sarana/prasarana umum yang menyangkut kepentingan masyarakat.
Pelaksanaan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota, ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut (Pasal 4 PP RI No. 25 Tahun 2000) :
a.    Kabupaten/ Kota yang tidak atau belum mampu melaksanakan salah satu atau beberapa kewenangan dapat melaksanakan kewenangan tersebut melalui kerja sama antar Kabupaten/ Kota, kerja sama antar-Kabupaten/Kota dengan Propinsi, atau menyerahkan kewenangan tersebut kepada Propinsi;
b.    Pelaksanaan kewenangan melalui kerja sama atau penyerahan suatu kewenangan kepada Propinsi harus didasarkan pada Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/ Kota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota;
c.    Bupati/ Walikota wajib menyampaikan keputusan mengenai penyerahan kewenangan kepada Propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada Gubernur dan Presiden dengan tembusan kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; Presiden setelah memperoleh masukan dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dapat menyetujui atau tidak menyetujui penyerahan kewenangan tersebut;
d.    Dalam hal Presiden tidak memberikan persetujuannya, kewenangan tersebut harus dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota;
e.    Apabila Presiden memberikan persetujuannya, pelaksanaan kewenangan tersebut diserahkan kepada Propinsi;
f.     Apabila dalam jangka waktu satu bulan Presiden tidak memberikan tanggapan, maka penyerahan kewenangan tersebut dianggap disetujui;
g.    Sebagai akibat dari penyerahan tersebut, Propinsi sebagai Daerah Otonom harus melaksanakan kewenangan dimaksud dengan pembiayaan yang dialokasikan dari dana perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
h.    Apabila Propinsi tidak mampu melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam huruf h, maka Propinsi menyerahkannya kepada Pemerintah dengan mekanisme yang sama sebagaimana tercantum pada huruf c sampai dengan huruf h; dan
i.      Apabila Kabupaten/ Kota sudah menyatakan kemampuannya menangani kewenangan tersebut, Propinsi atau Pemerintah wajib mengembalikannya kepada Kabupaten/Kota tanpa persetujuan Presiden.
Kewenangan Bupati/ Walikota dalam pengelolaan wilayah pesisir menurut UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
a.    Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir 1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi
b.    Mengatur penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap pemangku kepentingan sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu;
c.    Mengatur perencanaan antar instansi, dunia usaha, dan masyarakat;
d.    Mengatur program akreditasi skala kabupaten/kota;
e.    Mengatur rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan tiap-tiap dinas otonom atau badan daerah; serta
f.     Mengatur penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil skala kabupaten/ kota.
4.    Peran Masyarakat
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar mangrove merupakan masalah prinsip dalam usaha menyelamatkan, mangrove (Sukardjo, 1989). Bengen (2001), menyebutkan pelestarian hutan bahwa mangrove merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk di laksanakan, sifat karena kegiatan tersebut membutuhkan akomodatif terhadap segenap pihak terkait baik yang berada di sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Akan tetapi, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada institusi yang sangat rentan terhadap sumberdaya mangrove, dalam hal ini masyarakat diberikan porsi yang lebih besar.
Dalam upaya pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mewujudkan, menumbuhkan, dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam (UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil):
a.    Pengambilan keputusan;
b.    Pelaksanaan pengelolaan;
c.    Kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan Pemerintah/ Pemerintah Daerah;
d.    Pengembangan dan penerapan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup;
e.    Pengembangan dan penerapan upaya preventif dan proaktif untuk mencegah penurunan daya dukung dan daya tampung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
f.     Pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan;
g.    Penyediaan dan penyebarluasan informasi lingkungan; serta
h.    Pemberian penghargaan kepada orang yang berjasa di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bentuk organisasi pemberdayaan masyarakat pesisir yang dapat dikembangkan antara lain:
a.    PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir)
b.    COFISH (Coastal Fisheries)
c.    Program Mitra Bahari (Sea Grant Program)
d.    Siswasmas (Sistem Pengawasan Masyarakat)
Peran masyarakat dapat ditingkatkan melalui pemupukan jiwa bahari, pendidikan dan pelatihan kelautan dan organisasi dan kelembagaan kelautan.  Program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah adalah dalam bentuk penetapan rencana tindak antara lain:
a.    Identifikasi dan klasifikasi lembaga keswadayaan masyarakat
b.    Analisis jaringan kemitraan pemberdayaan antar lembaga keswadayaan masyarakat maupun dengan Pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan lembaga keagamaan
c.    Analisis kebijakan dan atau peraturan daerah dalam kerangka demokratisasi pengelolaan pembangunan
d.    Penyusunan/ penyempurnaan kebijakan dan atau peraturan daerah dalam kerangka penguatan kemitraan, partisipasi, dan demokratisasi Manajemen Kawasan Pantai
e.    Pengadaan manual kemitraan dengan lembaga keswadayaan masyarakat dari daerah setempat maupun dari luar daerah atau luar negeri
f.     Penguatan kemitraan dengan lembaga keswadayaan masyarakat dalam Manajemen Kawasan Pantai
g.    Pembentukan/pengembangan Forum sebagai wahana/jaringan dialog/kemitraan antar berbagai komponen pelaku pembangunan.
Sumber:
Basuki. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.

PEMBENIHAN LOBSTER AIR TAWAR

PEMBENIHAN LOBSTER AIR TAWAR

1.       Membedakan jantan dan betina
Sebelum melakukan pembenihan pembudidaya lobster harus dapat mengetahui terlebih dulu perbedaan antara lobster jantan dan betina. Cara membedakan kelamin yang paling muda adalah menggunakan teknis visual dari atas.Lobster jantan dapat di lihat jika pada capik sebelah luarnya terdapat bercak berwarna merah. Namun, tanda merah itu baru muncul ketika lobster berumur 3-4 bulan atau setelah lobster berukuran 3 inc (7 cm). Tanda merah ini juga merupakan tanda lobster jantan telah siap kawin (matang gonad). Sedangkan pada lobster betina di bagian yang sama tidak tampak tonjolan (penis). Ciri lobster betina adalah terdapat lubang pada pangkal kaki ketiga dari bawah (ekor). Lubang tersebut adalah kelamin lobster betina dan tempat mengeluarkan telurnya.


2.       Pemilihan induk
Pilih indukan yang berukuran di atas 4 inci (10 cm) atau berumur di atas 5-6 bulan karena lobster seperti ini akan memiliki jumlah anakan cukup banyak.
Tips memilih calon indukan yang berkualitas;
a.       Pilih indukan yang pertumbuhannya paling cepat di antara lobster-lobster yang lain
b.      Beli indukan di tempat penjual indukan yang telah bersertifikat
c.       Perhatikan kelaminnya, jangan pilih lobster yang ”banci”. Pasalnya ada indukan yang mempunyai indukan betina, tetapi juga memiliki kelamin jantan (sering di sebut dengan lobster banci). Lobster tersebut kemungkinan besar tidak bisa bertelur
d.      Pilih lobster yang badannya gemuk. Hindari memilih indukan yang kepalanya besar tetapi tubuh dan ekornya kecil. Ciri tersebut menandakan lobster kurang makan.
e.      Kawinkan lobster minimum ketika berumur 4 inci atau kira-kira berumur 5-6 bulan. Semakin kecil (muda) lobster di kawinkan, pertumbuhan anakannya akan selalu lambat. Misalnya, jika mengawinkan lobster ukuran 3 inci (7,5 cm) dan 4 inci (10 cm) akan jauh lebih cepat daripada yang 3 inci. Namun, bukan berarti ukuran tubuh anakan lobster 3 inci tidak bisa melebihi tubuh induknya. Lobster tersebut tetap bisa tumbuh melebihi induknya tetapi prosesnya lebih lambat. Lobster ukuran 3 inci memiliki jumlah telur maksimum 50 butir, sedangkan lobster berukuran 4 inci bisa menghasilkan telur 200 butir.
f.        Calon indukan lobster berkualitas bisa didapat dengan cara memisahkan lobster jantan dan betina ketika mereka berukuran 2 inci (5 cm). Paling bagus baru di kawinkan  setelah masing-masing mencapai ukuran minimum 4 inci (10 cm).
g.       Perlu juga diketahui asal usul lobster atau keluarganya pilih jenis lobster yang murni dari spesies tertentu agar pertumbuhan anakan lobster lebih baik.

3.       Mengawinkan Lobster
Gabungkan indukan jantan dan betina lobster menjadi satu dalam suatu media akuarium yang berukuran 1x 0,5 meter tinggi 25 cm bisa di masukan sekitar 5 lobster betina dan 3 lobster jantan. Satu jantan prinsipnya mampu membuahi 30 betina tetapi dalam perkawinan di akuarium  digunakan 3 lobster jantan karena dalam perkawinan tersebut lobster betina lebih dominan dalam memilih pasangan yang cocok sehingga jika hanya ada 1 ekor lobster jantan di dalam akuarium, kemungkinan ke 5 lobster betina untuk kawin dan bertelur semua menjadi lebih kecil.
Kebiasaan lobster dalam melakukan perkawinan saling mencari kecocokan. Ketika mengawinkan lobster, ukuran tubuh lobster jantan dan betina tidak harus sama karena di habitat aslinya, lobster jantan memang memiliki tubuh lebih besar daripada lobster betina.
Jika media perkawinan menggunakan akuarium ukuran 1x 0,5 x 0,5 meter, letakan minimum 8 buah pipa paralon berdiameter 2 inci dan panjang 15-20 cm, tergantung pada ukuran indukan. Indukan berukuran 4 inci, panjang paralon yang di gunakan 15 cm dan indukan dengan ukuran 5-6 inci panjang paralonnya 20 cm. Dua minggu setelah lobster jantan dan betina di gabungkan biasanya sudah ada indukan bertelur.
Lobster dalam masa perkawinan akan saling berhadap-hadapan membentuk formasi huruf Y. Lobster jantan akan mengeluarkan sperma dan meletakannya di dekat pangkal ke dua kaki lobster betina. Sperma tersebut berwarna putih, menggumpal, agak keras, dan larut ke air. Setelah di buahi, lobster betina akan menyingkir dari lobster jantan sampai perlahan-lahan mengeluarkan telurnya dari lubang pangkal kaki ketiga melewati sperma lalu turun ke ekor atau abdomennya. Telur di kumpulkan didalam abdomennya sambil ekornya menutup rapat selama seminggu pertama.   
4.       Pemindahan Induk Pengeraman dan Penetasan Telur
Setelah minggu ke-2 atu ke-3 telur baru dapat menempel dengan baik di kaki renangnya, dan si betina akan berjalan keliling dengan ekor terbuka sehingga telurnya dapat terlihat. Dalam keadaan seperti ini induk dapat dipindahkan dari akuarium perkawinan, ke kolam penetasan yang berukuran 1x 2 meter, atau ke kolam penetasan masal menggunakan kurungan keranjang. Resiko meletakan induk ke dalam akuarium adalah harus memindah-mindahkan lagi, karena setelah satu bulan harus di pisah-pisahkan lagi ke dalam akuarium 
Ciri Ciri Proses Pematangan Telur :
a.       Minggu kedua bentuk telur masih bulat
b.      Minggu ketiga mulai terlihat dua bintik hitam pada telur. Binitk hitam tersebut merupakan embrio
c.       Minggu keempat, capit, sungut, dan kakinya mulai tumbuh. Pada fase ini, lobster masih belum bisa mandiri. Jika fase ini telur rontok dari induknya kemungkinan besar embrio tersebut akan mati. Ketika menempel di kaki renang induknya, ibunya akan dengan telaten merawat embrio tersebut dengan cara menggoyang-goyangkan kaki renangnya untuk memberikan oksigen  pada anak-anaknya, sering kali si induk akan merapikan telurnya menggunakan kaki jalannya.
d.      Minggu kelima hampir seluruh kuning telur sudah habis. Ketika, embrio mulai lepas satu persatu dari induknya untuk mencari makanan sendiri. Meskipun sudah lepas, embrio bisa saja menempel ke kaki renang induknya sehingga ketika anakan sudah lepas sekitar 70%, sisanya sebanyak 30% yang masih menempel sebaiknya dirontokan saja karena di khawatirkan naluri keibuannya sudah hilang akibat terlalu lama menggendong telur.
Setelah bersih, si induk betina dipindahkan ke akuarium lain untuk istirahat selama dua minggu sampai berganti kulit. Tujuannya, jika berganti kulit, ukuran lobster menjadi semakin besar, sehingga semakin banyak juga jumlah anakan yang dihasilkan pada penetasan berikutnya karena semakin besar tubuh lobster betina, kapasitas penyimpanan telurnya akan bertambah besar.
Semakin bertambah usia dan ukuran lobster, jumlah telurnya terus bertambah, tetapi frekuensi bertelurnya menjadi lebih jarang. Ketika sedang dalam masa istirahat panjang (1 bulan), ada kemungkinan induk sudah matang gonad. Induk seperti ini dapat mengeluarkan telur sendiri tanpa dibuahi. Namun, telur yang dihasilkan adalah telur kosong sehingga ketika induk menggendong telur selama 1-2 minggu dan merasakan bahwa telur yang digendongnya tidak ada pertumbuhan maka telur tersebut akan dimakannya.
Apabila air ditempat perkawinan dan air ditempat penetasan memiliki perbedaan suhu dan pH, letakan terlebih dulu lobster yang sedang bertelur tersebut kedalam baskom yang diisi dari akuarium perkawinan baru kemudian dipindahkan kekolam penetasan dengan dipercik-percikan air kolam supaya suhu dan pH air di baskom stabil.
5.       Pemeliharaan Benih
Setelah menetas, anakan lobster tidak cocok diberi makanan dari jenis sayuran dan umbi-umbian sebaiknya merekan diberi cacing sutera atau cacing beku sehingga bisa memacu pertumbuhan denga baik. Jumlah pakan yang diberikan sebaiknya 3% dari berat badannya. Pada pagi hari pakan yang diberikan sebanyak 2% dan sore hari 75%.
6.       Kematian Benih Lobster
Kematian benih biasa dipicu oleh kegagalan dalam pergantian kulit yang pertama kali. Meskipun demikian, perlu diperhatikan adanya bahaya pencemaran racun yang bisa muncul, misalnya racun bekas semprotan (fogging) Demam Berdarah Dengue (DBD). Maka dari itu sebelum penyemprotan sebaiknya semua media ditutup dengan plastik, apabila perlu matikan aeratornya.
7.       Panen Benih
Dalam pemanenan benih berukuran 1-2 cm alat yang digunakan adalah ember plastik scoopnet berukuran 20 x 10 cm. Sementara itu saat yang baik untuk pemanenan adalah sebelum jam 9 pagi berada dilingkungan terbuka, kualitas dan parameter air yang digunakan harus sama dengan air dalam akuarium agar benih tidak menjadi stres. Sebaiknya air yang digunakan berupa air baru, bukan dari akuarium karena biasanya telah kotor. Perlu diketahui, tingkat sensitifitas benih berukuran 20 hari terhadap perubahan lingkungan drastis lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran lebih besar.
8.       Simulasi Usaha Pembenihan
Simulasi usaha yang dilakukan dilahan pekarangan rumah dengan menggunakan bak tembok adalah sebagai berikut :
a)      Luas keseluruhan 100 m2
-   Lahan perawatan induk seluas 30 m2.
-   Lahan pemijahan 20 m2.
-   Lahan pembenihan 40 m2
-   Lahan untuk tendon air dan lain-lain 10 m2.
b)      Wadah pembenihan berupa bak tembok dengan ukuran 1 m x 1 m x 1 m sebanyak 35 bak
c)       Sarana dan prasarana
1)      Prasarana
-   Pengadaan induk 30 pasang. Perbandingan induk jantan dan betina 1 : 3.
-   Perbaikan/pembuatan kolam.
-   Pengadaan peralatan :
o   Thermometer.
o   pH meter
o   Water heater.
o   Pompa air dan aerator
2)      Sarana
-   Pakan
-   Pakan induk berupa pellet dengan kandungan protein 30% sebanyak 2-3% berat ikan. Frekuensi pemberian pakan sebanyak 3 kali. Selama induk di kolam perawatan diberi pakan pelet dengan penambahan pakan alami, seperti tauge dan cincangan wortel.
-   Pakan larva berupa plankton dari jenis daphnia, klorela, tubefix, rotifer sebanyak 1% dari berat biomas.
-   Pakan benih berupa pakan alami, seperti cacing.
d)      Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk operasional 1 orang
e)      Jumlah induk jantan 30 ekor dan induk betina 90 ekor.
f)       Frekuensi pemijahan 3 kali setahun.
g)      Jumlah benih yang dihasilkan dari 90 ekor induk betina yang bertelur 1.000 butir dengan SR 80% dan frekuensi pemijahan 3 kali adalah 90 x 1.000 x 3 x 80% = 216.000 ekor per tahun.
h)      Siklus periode pembenihan lobster 2-3 bulan.
Sumber:
Kristiany M.G.E., dan Mulyanto. 2011. Materi Penyuluhan Perikanan: Budidaya Lobster Air Tawar. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.

Di download pada laman https://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com

Untung Besar dari Bisnis Budidaya Lobster Air Tawar

  Memiliki warna biru yang cerah disertai bentuk tubuh yang terlihat kekar dan anggun menjadikan lobster air tawar menarik dijadikan hiasan ...